PENYULUHAN
PEMBANGUNAN
SEBAGAI SEBUAH ILMU
(Kajian Filsafat
Ilmu)
Oleh:
Prof.Dr.Ir.Sugiyanto,
MS
Pendahuluan
Pembangunan, apapun
kegiatan yang dilaksanakan, pada hakekatnya bertujuan untuk selalu terus
menerus memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan manusia, orang per orang
maupun bagi seluruh warga masyarakatnya. Menurut Slamet (1994), tercapainya
tujuan pembangunan nasional harus didukung oleh kesiapan mental dan intelektual
serta kiprah seluruh anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif secara
berkualitas dalam berbagai bidang pembangunan nasional. Kualitas partisipasi
masyarakat, diantaranya diwujudkan melalui kegiatan penyuluhan
pembangunan.
Penyuluhan pembangunan
merupakan pengetahuan tentang bagaimana pola perilaku manusia terbentuk,
bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan
kebiasaan yang lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat pada
kualitas kehidupan yang lebih baik. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan
bahwa penyuluhan pembangunan merupakan suatu bentuk pengetahuan tentang
perilaku manusia. Bila ditinjau dari segi filsafat ilmu, apakah
penyuluhan pembangunan dapat disebut sebagai suatu ilmu ? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, tentunya perlu diperhatikan ciri-ciri keilmuan dari
penyuluhan pembangunan itu sendiri.
Pada hakekatnya, upaya
manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok yang
merupakan ciri-ciri keilmuan yaitu : apa yang ingin diketahui ? bagaimana
cara memperoleh pengetahuan ? apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita ?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kelihatannya sederhana namun mencakup
permasalahan yang sangat mendasar. Berbagai buah pemikiran yang besar
sebenarnya merupakan serangkaian jawaban yang diberikan atas ketiga pertanyaan
tersebut.
Dalam konteks penyuluhan,
keberadaannya sebagai sebuah ilmu juga ditentukan oleh ketiga macam pertanyaan
tentang hakekat ilmu tersebut yaitu : apa yang dikaji oleh penyuluhan
pembangunan ? bagaimana cara atau metode ilmiah dalam pelaksanaan penyuluhan
pembangunan ? apa manfaat atau nilai dari penyuluhan pembangunan ?.
Berkaitan dengan
permasalahan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji apakah penyuluhan
pembangunan merupakan suatu bentuk ilmu pengetahuan ditinjau dari ciri-ciri
keilmuan tersebut sesuai dengan sudut pandang filsafat ilmu.
Hakikat Ilmu
Istilah falsafah
mengandung banyak pengertian, namun dalam tulisan ini, falsafah diartikan
sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, serta suatu cara
berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Lalu apakah hubungan falsafah
dengan ilmu ?. Seperti diketahui, ilmu merupakan kumpulan pengetahuan
yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan
pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat
melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan yaitu gabungan antara
berpikir secara rasional dan empiris (Suriasumantri, 1984b).
Hal senada
diungkapkan oleh Adisusilo (1983) yang menyatakan bahwa Ilmu pengetahuan atau science
adalah suatu proses untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Karena itu, ilmu
pengetahuan harus mempunyai sifat ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh
secara metodis, sistematis, dan logis. Metodis maksudnya adalah bahwa
pengetahuan itu diperoleh dengan cara kerja yang terperinci, baik yang bersifat
induktif maupun deduktif, sesuai dengan tahapan-tahapan metode ilmu, misalnya
dimulai dengan observasi, perumusan masalah, mengumpulkan dan mengklasifikasi
fakta, membuat generalisasi, merumuskan hipotesis, dan membuat verifikasi.
Sementara itu, Gie (1984)
menyatakan bahwa pemahaman terhadap konsepsi ilmu yang sistematik dan lengkap
hendaknya mencakup segi-segi denotasi (cakupan), konotasi (ciri penentu), dan
dimensi (keluasan). Ketiga segi tersebut perlu dibedakan secara tegas dan
tidak dicampuradukkan dalam pembahasan tentang ilmu.
Menurut Suriasumantri
(1984a) ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap
tiga pertanyaan pokok yang mencakup apa
yang ingin kita ke-tahui (ontologis), bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan tersebut (epistemo-logi), dan apa nilai kegunaannya bagi
kita (axiologi). Dalam hal ini, falsafah mempelajari masalah ini
sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar dari eksistensi atau
keberadaan ilmu.
Ontologi membahas tentang
apa yang kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu. Kemudian,
bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai obyek tersebut ? Untuk
menjawab pertanyaan ini kita berpaling kepada epistemologi, yakni teori
pengetahuan (Suriasumantri,1984a). Menurut Pranarka (1987), orang perlu mencari
dan mempertanyakan dasar-dasar dari ilmu itu, terutama menunjukkan legitimasi
epistemologinya. Selanjutnya, jawaban untuk pertanyaan ketiga tentang nilai
kegunaan pengetahuan, berkaitan dengan axiologi yakni teori tentang
nilai. Setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada
dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan axiologi dari pemikiran yang
bersangkutan.
Secara lebih rinci,
Suriasumantri (1984b dan 1984c) menyatakan bahwa tiap-tiap pengetahuan
mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang
disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi, dan
axiologi. Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang
lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan (objek formal dari pengetahuan)
serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) dari objek formal
tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi
pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan.
Sedangkan aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah
diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Hakikat Penyuluhan
Istilah penyuluhan
digunakan dalam bahasa yang berbeda di beberapa negara. Menurut Van den Ban (1999), dalam bahasa
Belanda digunakan istilah Voorlichting yang berarti penerangan.
Malaysia yang dipengaruhi oleh bahasa Inggris menggunakan kata Perkembangan.
Bahasa Inggris dan Jerman masing-masing menggunakan istilah pemberian saran
atau Baratung yang berarti memberikan petunjuk tetapi pilihan tetap
ditentukan oleh yang bersangkutan. Jerman menggunakan istilah Aufklarung
yang berarti pencerahan. Dalam bahasa Austria digunakan istilah Forderung
yang berarti menggiring seseorang kearah yang diinginkan sedangkan bahasa
Perancis menggunakan istilah Vulgarization yang menekankan pentingnya
penyederhanaan pesan bagi orang awam. Spanyol menggunakan istilah Capacitacion
yang dapat diartikan sebagai pelatihan.
Dilain pihak, menurut Slamet (1994), istilah penyuluhan pada awal
kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Agricultural Extension. Dengan
pengembangan penggunaannya di bidang-bidang lain, maka sebutannya berubah
menjadi Extension Education dan Develoment Communication. Meskipun antara
ketiga istilah tersebut terdapat perbedaan, namun pada dasarnya mengacu pada
disiplin ilmu yang sama.
Dalam bahasa Indonesia, istilah penyuluhan berasal dari kata dasar
"suluh" yang berarti pemberi terang di tengah kegelapan. Dengan
demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses untuk memberikan penerangan
kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang "belum diketahui (dengan
jelas)". Namun, penerangan yang dilakukan tidaklah sekedar "memberi
penerangan", tetapi penerangan yang dilakukan harus terus menerus
dilakukan sampai segala sesuatu yang diterangkan benar-benar dipahami,
dihayati, dan dilaksanakan oleh masyarakat (Mardikanto, 1993).
Sebagai suatu kegiatan, penyuluhan pembangunan sudah lama dilaksanakan dan
dirasakan kebutuhannya untuk menunjang pembangunan di banyak negara.
Menurut Mardikanto (1992), kehadiran penyuluhan pertanian di Indonesia
sebagai bidang kegiatan, sebenarnya sudah berlangsung hampir dua abad yang
lalu, yakni sejak didirikannya Kebun Raya Bogor oleh Reinwardt pada tahun 1817.
Menurut catatan sejarah, di Scotlandia, pengembangan ilmu penyuluhan pertanian
sudah dirintis sejak tahun 1723. Akan tetapi kehadirannya sebagai cabang
keilmuan sebenarnya belum lama. Sejak saat itu, konsep tentang penyuluhan dan
penyuluhan pertanian terus mengalami perkembangan.
Sejak pemerintahan orde baru, kegiatan penyuluhan yang semula hanya dikenal
di kalangan orang-orang pertanian, semakin dikembangkan untuk beragam sektor
kegiatan, sehingga kemudian muncullah penyuluhan agama, penyuluhan koperasi,
penyuluhan transmigrasi, penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan industri
kecil, penyuluhan hukum, penyuluhan perpajakan, dll. Menurut Slamet (1994),
keragaman sektor penyuluhan tersebut mendasari munculnya penyuluhan pembangunan
yang merupakan pengembangan dari penyuluhan pertanian.
Menurut Sapoetro (Mardikanto, 1992) kunci pentingnya penyuluhan di dalam
proses pembangunan didasari oleh kenyataan bahwa pelaksana utama pembangunan
adalah masyarakat kecil yang umumnya termasuk golongan ekonomi lemah, baik
lemah dalam permodalan, pengetahuan, dan keterampilannya, maupun lemah dalam
hal peralatan dan teknologi yang diterapkan. Disamping itu, mereka juga
seringkali lemah dalam hal semangatnya untuk maju dalam mencapai kehidupan yang
lebih baik.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa praktek penyuluhan yang bertujuan untuk
menawarkan atau "memasarkan" inovasi sampai dengan inovasi tersebut
diadopsi oleh masyarakat, bukanlah pekerjaan yang gampang. Di dalam
praktek, kegiatan penyuluhan selalu menuntut kerja keras, kesabaran, memakan
banyak waktu, dan sangat melelahkan. Sehingga pengembangan ilmu
penyuluhan pembangunan kian menjadi kebutuhan banyak pihak.
Pentingnya penyuluhan pembangunan juga diawali oleh kesadaran akan adanya
kebutuhan manusia untuk mengembangkan dirinya agar lebih mampu meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Karena itu, menurut Mardikanto (1992) kegiatan
penyuluhan pembangunan terus menerus dikembangkan dalam rangka menggerakkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan agar mereka
memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai tujuan perbaikan
mutu hidup dan kesejahteraan yang dicita-citakan.
Pada masa lalu, penyuluhan dipandang sebagai alih teknologi dari peneliti
ke petani. Kini peranan penyuluhan lebih dipandang sebagai proses menbantu
petani untuk mengambil keputusan sendiri dengan cara menambah pilihan bagi
mereka dan menolong mereka mengembangkan wawasan mengenai konsekuensi
masing-masing pilihan itu. Dengan demikian, tujuan terpenting program
penyuluhan adalah untuk mengubah perilaku petani (Van den Ban, 1999).
Menurut Slamet dalam Mardikanto (1993), tujuan yang sebenarnya dari
penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku sasaran nya. Hal ini
merupakan perwujudan dari : pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat
diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan indera manusia. Dengan
demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku
(pengetahuan, sikap, dan keterampilan) di kalangan masyarakat agar mereka tahu,
mau, mampu melaksanakan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan
produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat
yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Dengan kata lain, Slamet
(1994) mendefinisikan penyuluhan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pola
perilaku manusia terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau
diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan yang lama dan menggantinya dengan
perilaku baru yang berakibat pada kualitas kehidupan yang lebih baik.
Hal yang sama juga didefinisikan oleh Wiriaatmadja (1973) yang menyatakan
bahwa penyuluhan merupakan sistim pendidikan di luar sekolah, dimana mereka
belajar sambil berbuat untuk menjadi tahu, mau, dan mampu/bisa menyelesaikan
sendiri masalah yang dihadapi secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Jadi
penyuluhan adalah suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan sarananya
disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan sararan. Karena
sifatnya yang demikian maka penyuluhan biasa juga disebut pendidikan non
formal.
Melalui penyuluhan juga harus diupayakan tidak terciptanya
"ketergantungan" masyarakat kepada penyuluhnya. Penyuluh hanya
sekadar sebagai fasilitator dan dinamisator untuk memperlancar proses
pembangunan yang direncanakan. Dengan kata lain, melalui penyuluhan,
ingin dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai
ilmu dan teknologi, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan
inovatif terhadap sesuatu (informasi) yang baru, serta terampil dan mampu
berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan-harapannya demi tercapainya
perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakatnya.
Pernyataan tentang tujuan penyuluhan tersebut sesuai dengan falsafah
penyuluhan yang dianut yaitu harus berpijak pada pentingnya pengembangan
individu (Kelsey dan Herane dalam Mardikanto, 1993). Masyarakat harus dilihat
sebagai manusia biasa yang memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuannya
dan memiliki keinginan dan harapan untuk terlepas dari keadaan yang tidak
mereka kehendaki. Karena itu, pelaksanaan penyuluhan harus mampu tidak
saja mengembangkan potensi masyarakat tetapi juga harus mau memberikan peluang
kepada kekuatannya sendiri untuk mengembangkan potensinya supaya terlepas dari
kemiskinan dan kebodohan.
Karena itu, Kelsey dan Herane (Mardikanto, 1993) mengemukakan bahwa
falsafah penyuluhan adalah bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar
mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia. Dari pendapat tersebut,
terkandung pengertian bahwa :
(1) Penyuluh harus bekerjasama dengan
masyarakat, dan bukannya berkerja untuk masyarakat. Kehadiran penyuluh
bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana
dialogis dengan amsyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta
memelihara partisipasi masyarakat.
(2) Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan,
tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian
masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana,
dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan,
harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.
(3) Penyuluhan yang dilaksanakan harus selalu
mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan
harkatnya sebagai manusia.
Dari paparan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penyuluhan adalah
proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah kesadaran dan perilaku
(pengetahuan, sikap, dan keterampilan) manusia ke arah yang lebih baik sehingga
mereka menjadi berdaya dan dapat mencapai kehidupan yang lebih baik dan
sejahtera. Jadi, disinilah nilai penting penyuluhan sebagai suatu pengetahuan
yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kehidupan yang lebih sejahtera. Hal ini
sesuai dengan hakekat ilmu yang berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Menurut Wiriaatmaja (1973) dalam melaksanakan kegiatannya, penyuluhan
menerapkan suatu cara atau metode tertentu yang harus dilakukan, yaitu :
(1)
Pengenalan keadaan,
gambaran atau situasi
Sebelum melaksanakan kegiatan penyuluhan, penyuluh
harus terlebih dahulu melakukan hal-hal sebagai berikut :
§
Mempersiapkan dirinya sendiri
untuk jadi penghubung/komunikator atau penyuluh yang baik
§
Mengenal daerah kerjanya
termasuk perihal masyarakat (sasaran), kebudayaan, kekayaan alam, dan
masalah-masalahnya dalam lingkup pertanian/pembangunan.
(2)
Perencanaan (Planning)
Supaya tujuan penyuluhan dapat tercapai
dengan baik, perlu disusun suatu rencana tentang jalannya kegiatan-kegiatan.
Yang termasuk dalam rencana tersebut adalah yang dikenal dengan istilah 4
W dan 1 H, yaitu :
§
Apa yang harus dilakukan (What)
§
Di mana dilakukannya (Where)
§
Kapan melakukannya (When)
§
Siapa yang melakukan (Who)
§
Bagaimana melakukannya (How)
Untuk
memudahkan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, maka di dalam perencanaan tersebut,
perlu disusun hal-hal sebagai berikut :
§
Program, yaitu suatu
pernyataan yang dikeluarkan untuk menimbulkan pengertian dan perhatian mengenai
suatu kegiatan. Lebih jelasnya program berisi tentang apa yang harus dilakukan
dan mengapa perlu dilakukan.
§
Rencana Kerja,
yaitu suatu acara kegiatan-kegiatan yang disusun sedemikian rupa sehingga
memungkinkan pelaksanaan program secara efisien yang menyangkut tentang
bagaimana, kapan, di mana, dan siapa.
§
Kalender kerja, yaitu
suatu rencana kerja yang disusun menurut urutan waktu kegiatan.
(3) Pelaksanaan
Yang
dimaksud dengan pelaksanaan di sini adalah tindakan-tindakan nyata untuk
melakukan apa-apa yang telah dicantumkan dalam rencana tadi, yaitu yang
berkaitan dengan 4 W dan 1 H tersebut. Dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan
tersebut, dapat dipilih cara atau metode komunikasi dan alat bantu yang
digunakan dengan ketentuan:
§
Sesuai dengan keadaan sasaran
§
Cukup dalam kuantitas dan kualitas
§
Tepat mengenai sasaran dan
tepat pada waktunya
§
Amanat harus mudah diterima
dan dimengerti
§
Murah biayanya.
Sedangkan metode komunikasi penyuluhan dapat
dilakukan secara personal, kelompok, ataupun massa.
(4) Penilaian (evaluasi).
Penilaian adalah suatu proses feedback,
dimana hasil yang telah diperoleh selama pelaksanaan diperbandingkan dengan
rencana dan keadaan semula. Selanjutnya mulai lagi dengan pengenalan keadaan
yang baru (hasil akhir dari kegiatan-kegiatan tadi). Hal-hal yang dinilai
adalah :
§
Apa yang terjadi pada pihak
sasaran, yaitu apa ada perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya
?apakah mereka sudah menerapkan teknologi baru yang dianjurkan ? apakah ada
perubahan dalam kedudukan sosial dan ekonomi mereka ?. Semuanya ini
dibandingkan denga keadaan semula sebelum ada kegiatan penyuluhan.
§
Bagaimana efektivitas metode
dan alat bantu penyuluhan yang digunakan ?
Untuk lebih jelasnya urutan dari kegiatan-kegiatan penyuluhan
tersebut adalah seperti gambar berikut :
Keadaan semula
Perencanaan
Pelaksanaan
Penilaian
Keadaan baru
|
|
|
![]() |
Dari paparan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa penyuluhan
sebagai suatu pengetahuan mempunyai serangkaian metode ilmiah yang berisi
langkah-langkah sistematis dan logis yang harus dilaksanakan sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan. Dengan demikian, secara
epistemologis hakekat penyuluhan sebagai suatu ilmu telah terpenuhi.
Sesuai dengan pendapat Suriasumantri (1984c), metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Ilmu pada hakekatnya
merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakan ilmu dengan pengetahuan umum lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini
didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang
berkaitan dengan hakekat ilmu yaitu ontologi, epistemologi, dan axiologi.
Dalam konteks penyuluhan
pembangunan, keberadaannya sebagai suatu ilmu didasari kenyataan bahwa
pelaksana utama pembangunan adalah masyarakat kecil yang umumnya termasuk
golongan lemah, baik secara ekonomi, pengetahuan, keterampilan, maupun
semangatnya untuk maju dalam memperbaiki hidupnya. Karena itu, ilmu
penyuluhan pembangunan terus menerus dikembangkan dalam rangka menggerakkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan agar mereka
berdaya dan memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai
perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan yang dicita-citakan. Untuk
mencapai tujuan tersebut, dalam melaksanakan kegiatannya, penyuluhan menerapkan
suatu cara atau metode tertentu yang terdiri dari beberapa langkah
sistematis yaitu pengenalan keadaan atau situasi masyarakat setempat,
perencanaan kegiatan, pelaksanaan, dan penilaian (evaluasi). Melalui
langkah-langkah tersebut, diharapkan tujuan penyuluhan dapat tercapai
dengan baik sesuai dengan yang diharapkan.
Dari paparan tersebut,
dapat dikatakan bahwa hakekat penyuluhan pembangunan sebagai suatu ilmu telah
terpenuhi sesuai dengan ciri-ciri keilmuan yaitu melalui suatu
kajian atau peninjauan dari segi ontologi, epistemologi, dan axiologi.
Daftar
Pustaka
Gie, T. Liang. 1984. Konsepsi tentang Ilmu.
Yogyakarta. Penerbit Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi.
Mardikanto, T. 1992. Penyuluhan Pembangunan
Pertanian. Surakarta. Sebelas
Maret University Press.
Pranarka, AMW. 1987. Epistomologi Dasar : suatu Pengantar. Jakarta.
Penerbit Yayasan Proklamasi.
Suriasumantri, Jujun S. 1984a. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta. Penerbit Yayasan obor
Indonesia dan Leknas – LIPI.
Suriasumantri, Jujun S. 1984b. Ilmu dalam Perspektif Moral,
Sosial, dan Politik. Jakarta. Penerbit PT Gramedia.
Suriasumantri, Jujun S. 1984c. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta. Penerbit Sinar Harapan
Slamet, Margono. 2001. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong
Era Tinggal Landas dalam. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia :
Menyongsong Abad 21. Jakarta. Penerbit PT Pustaka Pembangunan Swadaya
Nusantara.
Van den Ban, AW dan H.S. Hawkins. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Wiriaatmadja, S. 1973. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta. Penerbit PT Yasaguna.
1. Pengertian Falsafah dalam Penyuluhan Pembangunan
Kata falsafah
adalah bahasa Arab. Dalam bahasa Yunani adalah philosophia (philo = cinta ;
Sophia = hikah). Falsafah dalam bahasa Greek berarti love of wisdom, cinta akan
kebijaksanaan yakni menunjukkan harapan/kemajuan untuk mencari fakta dan nilai
kehidupan yang luhur. Plato (filosof Yunani) mengartikan falsafah sebagai ilmu
pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Walter Kaufmann, menyebutkan bahwa falsafah adalah
pencarian kebenaran dengan pertolongan fakta-fakta dan argumentasi.
Kegiatan penelitian dan penyuluhan sangat berkaitan dan saling memerlukan, karena itu kebersamaan antara peneliti/lembaga penelitian dan penyuluh/lembaga penyuluh perlu terbina dengan baik dan intim. Falsafah keduanya (penelitian dan penyuluhan) antara lain adalah sebagai berikut :
- Selalu mengusahakan pembaruan dan
modernisasi IPTEKS.
- Kebutuhan/keinginan/masalah
masyarakat klien merupakan kegiatan primadona peneliti dan penyuluh.
- Selalu mengikuti/sejalan dengan perkembangan dan kemajuan.
- Meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha.
- Meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran klien dan masyarakat pada umumnya.
- Meningkatkan kebersamaan/kerjasama
(antara penyuluh dan peneliti dan antara peneliti/penyuluh dengan pengguna
IPTEKS/masyarakat klien).
Penyuluhan
adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan)dengan tujuan mengubah
perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni orang makin
modern. Ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu
klien agar lebih berdaya secara mandiri.
Ciri-ciri orang
Modern menurut Inkeles (Inkeles, 1966 : 138 - 150 dan Inkeles dan Smith, 1974 :
15 - 25 dalam Asngari, 2001) antara lain :
- Terbuka dan siap menerima perubahan
(pembaruan) : pengalaman baru, inovasi baru, penemuan baru yang lebih
baik, dll,
- Orientasinya realistik/demokratis :
berkecenderungan membetuk/menerima pendapat lingkungan,
- Berorientasi masa depan dan masa kini, bukannya masa silam,
- Hidup perlu direncanakan dan
diorganisasikan,
- Dia belajar menguasai lingkungan
(tidak pasrah),
- Rasa percaya diri tinggi (dunia di
bawah kontrolnya),
- Penghargaan pada pendapat orang lain
(tiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan),
- Dia optimis,
- Memberi nilai tinggi pada pendidikan
formal,
- Percata pada IPTEK (dan perkembangannya), serta
- Percaya bahwa imbalan harus seimbang dengan kontribusinya (prestasinya).
2. Beberapa falsafah penyuluhan antara
lain :
1. Falsafah mendidik/pendidikan (bukannya
klien “dipaksa-terpaksa terbiasa”) Ki Hajar Dewantoro (Syarif Tayeb, 1977)
menyebutkan bahwa dalam proses pendidikan digunakan falsafah : “hing ngarsa
sung tulada, hing madya mangan karsa, tut wuri handayani.
- - hing ngarsa sung talada = memberi/menunjukkan arah akan
perubahan
- hing madya mangun karsa = merangsang terjadinya perubahan
- tut wuri handayani = mengembangkan dan mewujudkan potensi klien.
2. Falsafah pentingnya individu :
Pentingnya individu ditonjolkan dalam pendidikan/penyuluhan pada umumnya, sebab
potensi diri pribadi seseorang individu merupakan hal yang tiada taranya untuk
berkembang dan dikembangkan.
3. Falsafah Demokrasi : Klien diberi
kebebasan untuk berkembang agar mereka dapat mandiri sekaligus dapat
bertanggungjawab sesuai dengan perkembangan intelektualnya.
4. Falsafah Bekerjasama : Falsafah Ki Hadjar Dewantoro “hing madya mangun karsa” mengandung makna adanya kerjasama antara penyuluh/agen pembaruan dengan klien. Penyuluh bekerjasama dengan klien agar klien aktif berprakarsa (dalam proses belajar) mengembangkan usaha bagi dirinya.
5. Falsafah “Membantu Klien Membantu Diri
Sendiri.” Thompson Repley Bryant (Vines dan Anderson, 1976 :81 dalam Asngari,
2001), seorang penyuluh kawakan Amerika Serikat, menggaris bawahi falsafah ini
dengan mengatakan : Makna falsafah ini menunjukkan landasan orientasi
pentingnya individu membantu diri sendiri. Dari falsafah ini pula dikembangkan
landasan kegiatan "dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka."
6. Falsafah Kontinyu/berkelanjutan : Dunia
berkembang, manusia berkembang, ilmu berkembang, teknologi berkembang, sarana
berkembang, usaha berkembang, jadi harus sesuai dengan perkembangan : 1) materi
yang disajikan, 2) cara penyajian, dan 3) alat bantu penyajian.
7. Falsafah Membakar Sampah (secara
tradisional, baik individual, maupun berkelompok).
- Ini analogi ; kemungkinan sampahnya “basah semua” siram dengan minyak tanah (jangan sekali-kali dengan bensin) lalu dibakar (kadang-kadang perlu beberapa kali disiram minyak tanah dan dibakar sampai ada yang kering dan merambat mempengaruhi kekeringan yang lain), ini pendekatan kelompok yang semuanya belum membangun.
- Bagi seorang individu, falsafah ini pun berlaku, dengan
bertahap penuh kesabaran menunggu perkembangan. Falsafah ini memang harus
dilandasi adanya kesabaran menunggu perkembangan individu klien. Inilah
kunci proses mendidik/menyuluh untuk mengembangkan dan mewujudkan potensi
individu lebih berdaya dan mandiri. Individu lebih berdaya sebagai hasil mendinamiskan diri, sehingga
individu mampu berprestasi prima secara mandiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar