Minggu, 31 Maret 2013

Analisis Pemberdayaan Masyarakat Halmahera Barat


I.   PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
            Pembangunan Pertanian merupakan salah satu aspek yang paling berperan dalam pembangunan ekonomi di daerah. Sektor pertanian diharapkan dapat berkembang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut. Padi (Oryza sativa L) merupakan salah satu tanaman pangan di Indonesia dan memiliki peranan yang sangat penting karena merupakan bahan makanan pokok sebagian besar penduduk di Indonesia.
            Berdasarkan informasi yang diperoleh, bahwa ternyata pada masa lalu kualitas padi di daerah umumnya rendah. Hal ini disebabkan karena beberapa kendala yang antara lain pengetahuan tentang bercocok tanam yang masih kurang serta pemanfaatan lahan yang tidak tepat. Kurangnya pengetahuan bercocok tanam yang umumnya berlangsung secara turun-temurun membuat produksi padi tetap rendah. Petani tradisional umumnya menanam padi hanya berdasarkan pengalaman. Namun berkat usaha pemberdayaan masyarakat tani yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah terhadap para petani, masyarakat petani lambat laun dapat menerima kenyataan bahwa pengetahuan pertanian sangat penting dalam bercocok tanam. Hal ini membuktikan bahwa bangsa kita sangat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
          Faktor lain yang membuat produksi rendah seperti yang disebutkan diatas adalah pemanfaatan lahan yang kurang tepat. Pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam padi dapat dibagi dua yaitu lahan kering (padi ladang) dan lahan basah (padi sawah).
          Sebahagian kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Halmahera Barat terdapat pertanian lahan kering dan pertanian lahan basah. Berdasarkan data yang diperoleh luas lahan kering hingga tahun 2009 yaitu lahan kering sebesar 461 Ha dan luas lahan basah sebesar yaitu 148 Ha.
          Saat ini terjadi perubahan pola tanam dimana sebagian besar petani beralih dari lahan kering ke lahan basah, hal ini terutama disebabkan karena terjadi peningkatan pengetahuan tentang bercocok tanam padi serta perbedaan produksi yang dihasilkan dengan adanya pemberdayaan masyarakat tani.
1.2         Rumusan Masalah
          Berdasarkan uraian latar belakang dalam penelitian ini, maka penulis mengemukakan rumusan permasalahan adalah :
1.      Seberapa besar pengaruh pemberdayaan terhadap perubahan perilaku budidaya petani dari petani padi ladang ke petani padi sawah
2.      Berapa tingkat produksi setelah perubahan perilaku tersebut

1.3         Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui perubahan perilaku budidaya dari petani padi ladang ke petani padi sawah
2.      Mengetahui tingkat produksi setelah perubahan perilaku

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 
5.1        Identitas Responden
Identitas responden yang mencakup dalam penelitian ini adalah meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan dan jumlah produksi produksi, masing-masing untuk lahan basah (padi sawah) dan lahan kering (padi ladang).
5.1.1        Umur Responden
Kegiatan berusatani umur sangat menentukan apakah tergolong produktif ataukah tergolong kurang produktif dalam melakukan kegiatan usahanya tersebut. Petani yang mempunyai umur yang lebih mudah akan memiliki kemampuan fisik dan mental yang relatif lebih kuat tetapi petani yang mempunyai umur yang lebih tua cenderung memiliki pengalaman yang lebih banyak sehingga mereka akan berhati-hati dalam proses pengambilan keputusan.
Umur yang produktif akan lebih efektif dalam beraktivitas dibandingkan dengan umur yang tidak produktif. Untuk lebih jelasnya mengenai tingkat umur petani responden dapat disajikan pada Tabel 5

Tabel  5   : Tingkat Umur Petani yang Beralih dari Petani Padi  Ladang ke Petani Padi Sawah di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2009.
Umur
Jumlah Petani (Jiwa)
Persentase (%)
> 43,5
9
30
≤ 43,5
21
70
Jumlah
30
100,00
Sumber  :  Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Dari hasil penelitian petani responden bahwa umur tertinggi 67 tahun dan umur terendah 20 tahun, maka rata-rata umur di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat yaitu 43,5 tahun. Dapat dilihat pada Tabel 5 diatas bahwa petani responden yang melakukan kegiatan budidaya padi di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat berusia diatas rata-rata 43,5 tahun sebanyak 21 orang sedangkan petani responden yang berusia dibawah rata-rata 43,5 tahun hanya 9 orang, hal ini menunjukkan bahwa petani di Desa Sarau yang melakukan kegiatan budidaya padi adalah umur yang sudah kurang produktif. Hal ini disebabkan karena pengetahuan tentang budidaya padi masih sangat kurang.
5.1.2        Tingkat Pendidikan Responden
Pendidikan formal petani merupakan salah satu faktor penting, khususnya dalam mengadopsi teknologi dan keterampilan budidayanya, tingkat pendidikan juga mempengaruhi pola pikir petani dalam mengambil keputusan. Meskipun   sebenarnya   sulit   untuk mengukur  hubungan yang sesungguhnya antara tingkat pendidikan formal dengan cara berpikir petani. Petani yang mempunyai tingkat pendidakan yang relatife tinggi diharapkan pola pikir semakin rasional sehingga dapat bertindak lebih dinamis dalam mengelola budidayanya sehingga dapat meningkatkan produksi usahanya. Petani yang berpendidikan sangat rendah pada dasarnya memiliki keterbatasan dalam mengadopsi inovasi dan teknologi dan keterbatasan penguasaan dan penyerapan teknologi dalam penyerapannya pengelolaan budidayanya.
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir dan kemampuan menyerap informasi dan teknologi, hal ini dapat dilihat semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pertanian maka sangat dibutuhkan keterampilan dan penguasaan teknologi tersebut. Tingkat pendidikan petani disajikan pada       Tabel 6.
Tabel  6 :    Tingkat Pendidikan Petani  Responden di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2012.

No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
(Jiwa)
Persentase
(%)
1
SD
17
56,7
2
SLTP
7
23,3
3
SLTA
6
20,0
Jumlah
30
100,0
Sumber  :  Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa tingkat pendidikan petani responden di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat masih rendah yaitu dari 30 responden 17 orang atau 56,7% berpendidikan SD sedangkan SLTP 7 orang atau 23,3% dan SLTA 6 orang atau 20,0%.
5.1.1        Pengalaman Berusahatani
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha adalah waktu yang telah digunakan dalam melakukan usaha. Pengalaman berusaha oleh seorang petani akan berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dengan lama petani yang telah menekuni suatu usaha pengelolaan usahatani tentu akan banyak pula pengalaman yang diperolehnnya. Pengalaman dari apa yang dialami oleh seseorang akan menjadi suatu kebiasaan bila hal tersebut sering dilakukan. Lama berusaha dapat dianggap sebagai ukuran tingkat pengalaman dengan pengelolaan usahataninya tersebut.
 Untuk lebih jelasnya pengalaman petani di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat dalam mengelola usahataninya dapat disajikan pada Tabel 7.
Tabel  7   :    Identitas Responden Berdaraskan Pengalaman Berusahatani Padi Ladang di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2012.
No
Pengalaman Berusahatani (Tahun)
Jumlah
(Jiwa)
Persentase
(%)
1
1 – 3
12
40,00
2
4 – 6
10
33,33
3
7 – 9
8
26,67
Jumlah
30
100,00
Sumber  :  Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Berdasarkan Tabel 7 diatas menunjukkan bahwa jumlah petani responden yang mempunyai pengalaman 1-3 tahun berjumlah 12 orang atau 40,00% dan pengalaman 4-6 tahun 10 orang atau 33,33% serta pengalaman 7-9 tahun 8 orang atau 36,67%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani responden mempunyai pengalaman usahatani kurang memadai dalam bidang Pertanian.
Tabel  8     :    Identitas Responden Berdaraskan Pengalaman Berusahatani Padi Sawah di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2012.
No
Pengalaman Berusahatani (Tahun)
Jumlah
(Jiwa)
Persentase
(%)
1
2 – 10
6
20,00
2
11 – 19
19
63,33
3
20 – 28
5
16,67
Jumlah
30
100,00
Sumber  :  Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Berdasarkan Tabel 8 diatas menunjukkan bahwa jumlah petani responden yang mempunyai pengalaman 2-10 tahun berjumlah 6 orang atau 20,00% dan pengalaman 11-19 tahun 19 orang atau 63,33% serta pengalaman 20-28 tahun 5 orang atau 16,67%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani responden mempunyai pengalaman usahatani kurang cukup memadai dalam bidang pertanian.
5.1.2        Lahan Garapan Petani
Luas lahan merupakan sektor penentu lahan budidaya terutama produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut. Sedangkan sektor lain yang turut menentukan adalah produktivitas dan kesuburan tanah dan jenis komoditi yang diusahakan. Untuk lebih jelasnya luas lahan yang dimiliki petani responden disajikan pada tabel.
Berdasarkan Tabel 9, menunjukkan bahwa luas lahan 0,5-1 sebanyak 15 petani responden dan luas lahan 1,1-1,5 sebanyak 8 petani responden dan 1,6-2 sebanyak 7 petani responden.

Berdasarkan Tabel 10, menunjukkan bahwa luas lahan 0,3-0,8 sebanyak 20 petani responden dan luas lahan 0,9-1,3 sebanyak 6 petani responden, luas lahan 1,4-1,8 sebanyak 2 petani responden dan luas lahan 1,9-2,3 sebanyak 2 Petani    responden.

5.2              Analisis Perubahan Perilaku Budidaya
Perubahan perilaku budidaya dari petani lahan kering (padi ladang) ke lahan basah (padi sawah) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu antara lain umur, pendidikan, pengalaman berusaha tani serta luas lahan. 
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa :
1.      Umur
Umur sangat menentukan kemampuan seseorang dalam berusaha tani, baik Petani padi sawah maupun petani padi ladang.
-     Padi Ladang
Dari tabel diatas diperoleh korelasi antara umur dan produksi yaitu sebesar -0,237 (korelasi negatif). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh umur terhadap produksi tidak signifikan, atau dapat dikatakan semakin tinggi umur petani maka semakin rendah produksi yang diperoleh.
-     Padi Sawah
Dari tabel diatas diperoleh korelasi antara umur dan produksi yaitu sebesar 0,000 (tidak ada hubungan). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh umur terhadap produksi tidak bepengaruh.
2.      Pendidikan
Kemampuan petani dalam menyerap informasi dan teknologi pertanian akan sangat ditentukan oleh tingat pendidikan.
-        Padi Ladang
Korelasi antara Pendidikan dengan Produksi adalah -0,089 (korelasi negatif). Korelasi tersebut menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan terhadap produksi negatif, artinya semakin tinggi tingakat pendidikan petani maka produksi menurun sebesar 0,089, karena dengan pendidikan tinggi maka petani cenderung beralih ke petani padi sawah.
-        Padi Sawah
Korelasi antara Pendidikan dengan Produksi adalah 0,06. Terjadi korelasi positif artinya semakin tinggi pendidikan maka produksi semakin meningkat, walaupun demikian korelasi ini juga memberikan informasi bahwa pengaruh pendidikan terhadap produksi tidak terlalu berpengaruh yaitu hanya 0,06. Hal ini terjadi karena tidak adanya informasi yang memadai dari pihak-pihak terkait misalnya  penyuluh pertanian, atau media cetak pertanian belum masuk di daerah tersebut.
3.      Pengalaman Berusahatani
-        Padi Ladang
Korelasi antara Pengalaman Usahatani dengan Produksi adalah -0,150 (korelasi negatif). Korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun produksi yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan karena petani hanya melakukan budidaya secara tradisional tanpa ada informasi tentang cara budidaya yang baik dan benar.
-        Padi Sawah
Korelasi antara Pengalaman Usahatani dengan Produksi adalah -0,008 (korelasi negatif). Korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun produksi yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan karena petani belum mendapatkan penyuluhan tentang cara budidaya yang baik dan benar.
4.      Luas Lahan
-        Padi Ladang
Korelasi antara Luas Lahan dengan Produksi adalah 0,611. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa pengaruh luas lahan positif yaitu diatas 0,5, atau dengan kata lain semakin luas lahan yang digarap maka produksi yang dihasilkan meningkat.
-        Padi Sawah
Korelasi antara Luas Lahan dengan Produksi adalah 0,943. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa pengaruh luas lahan sangat kuat yaitu hampir mendekati 1, atau dengan kata lain semakin luas lahan yang digarap maka produksi yang dihasilkan meningkat.
Tabel  12 : Perbandingan Rata-Rata Produksi Padi Sawah dan Padi Ladang Per Tahun

No.
Komoditi
Luas Lahan (Ha)
Produksi (Kg)
1
Padi Ladang
1,342
         1.055
2
Padi Sawah
0,812
       10.574

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang melakukan usaha budidaya padi ladang hanya mampu menghasilkan 1.055 kg dengan luas lahan 1,342 ha setiap tahunnya (satu kali panen), sedangkan responden yang melakukan usaha budidaya padi sawah dengan luasan 0,812 ha dapat menghasilkan produksi 5.287 kg per panen atau dengan kata lain petani padi sawah dapat menghasilkan produksi 10.574 kg (dua kali panen) per tahun.



VI.   KESIMPULAN DAN SARAN
6.1     Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.      Korelasi positif perubahan perilaku budidaya petani padi ladang ke petani padi sawah dengan produksi yaitu sebesar 0,611 pada padi ladang dan 0,943 pada padi sawah. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin luas lahan garapan maka semakin meningkat produksi yang dihasilkan.
2.      Faktor umur berpengaruh terhadap perubahan perilaku budidaya, pekerjaan budidaya padi ladang memerlukan kemampuan cukup prima, sementara pekerjaan budidaya padi sawah sudah menggunakan teknologi pertanian sehingga dapat mempermudah pekerjaan.
3.      Produksi rata-rata padi ladang sebesar 1,055 Kg dengan rata-rata luas lahan sebesar 1,342 Ha, sedangkan untuk padi sawah,setelah perubahan perilaku produksi rata-rata 10.574 Kg dengan luas rata-rata sebesar 0,812 Ha.
6.2       Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1.         Perlu penyadaran kepada para petani bahwa peningkatan produksi tidak tergantung dari luasnya lahan yang digarap, tetapi bagaimana memanfaatkan lahan sehingga dapat memperoleh hasil yang maksimal.
2.         Perlu ditingkatkan penyuluhan pertanian sehingga diharapkan nanti petani dapat melakukan budidaya padi dengan cara yang benar sehingga pada akhirnya dapat memperoleh hasil yang memadai.
3.         Perlu adanya tenaga pendamping yang berpengalaman dalam melakukan budidaya padi sehingga dapat terjadi alih pengetahuan yang kemudian diharapkan terjadi peningkatan produksi. 

Rabu, 13 Maret 2013

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Halmahera Utara


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kabupaten Halmahera Utara merupakan kabupaten kepulauan yang kaya akan sumberdaya perikanan dan kelautan. Sebagian besarpenduduknya bermungkim di wilayah pesisir dan kehidupannya tergantung dari sumber perikanan. Realitanya sebagian besar masyarakat pesisir masih hidup dibawah garis kemiskinan. Dault (2008), menyatakan karena begitu miskinnya maka masyarakat pesisir sering disebut kelompok miskin di antara yang miskin (the poorestof the poor). Oleh karena itu, agar mereka bisa keluar dari belenggu kemiskinan perlu ada intervensi (dorongan dari luar) untuk memperdaya mereka melalui program-program pemberdayaanbagi masyarakat pesisir.
Untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir, pemerintah Kabupaten Halmahera Utara telah melakukan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Salah satunya adalah program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang merupakan program pemerintah pusat dan dikembangkan secara nasional. Program PEMP bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pendekatan ekonomi dan kelembagaan sosial. Program ini telah dimplementasikan di Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2008, 2009 hingga 2010. Berbagai kemajuan telah dicapai dari program tersebut. Setelah program ini berjalan beberapa tahun, tentunya perlu di evaluasi sejauhmana program ini dapat menjawab permasalahan masyarakat pesisir. Berdasarkan latar belakang tersebut, sanat menarik untuk mengkaji dampak program PEMP terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya di Kabupaten Halmahera Utara.

      Wilayah penerima program PEMP tersebar di berbagai kecamatan yang ada di Kabupaten Halmahera Utara. Salah satu kecamatan penerima bantuan adalah kecamatan Tobelo, yang menjadi focus daerah penerima program PEMP yang akan di evaluasi dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1)    Kecamatan Tobelo merupakan pusat pendaratan utama armada perikanan skala kecil yang beroperasi di Kabupaten Halmahera Utara.
2)    Koperasi LEPP-M3 Kabupaten Halmahera Utara sebagai lembaga pengelola Dana Ekonomi Produktif (DEP) PEMP terletak di Kecamatan Jailolo.
3)    Kabupaten Halmahera Utara mendapatkan program PEMP pada tahun 2009, 2010, 2011,dan 2012. Pelaksanaan program PEMP, khususnya di kecamatan tobelo sudah bejalan dalam waktu cukup lama, sehingga perlu dilakukan evaluasi dampak program PEMP terhadap kesejahteraan nelayan dan keberlanjutan program.

1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)    Menilai implikasi program PEMP terhadap keragaan teknologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan masyarakat pesisir di Kabupaten Halmahera Utara.
2)    Merumuskan dan menentukan strategi perbaikan program pemberdayaan masyarakat pesisir di Kabupaten Halmahera Utara.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis. 
2.1  Pengertian Pemberdayaan
·           Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995: 56).
·           Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin (1987: xiii).
·           Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984: 3).
·           Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994:106).
·           Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-baran dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Beragam definisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.

2.1. Pengertian Pendampingan

Dikalangan dunia pengembangan masyarakat istilah  “pendampingan” merupakan istilah baru yang muncul sekitar 90-an, sebelum istilah yang banyak dipakai adalah “pembinaan”. Ketika istilah pembinaan ini dipakai terkesan ada tingkatan yaitu ada pembinaan dan yang dibina, pembinaan adalah orang atau lembaga yang melakukan pembinaan sedangkan yang dibina adalah masyarakat.

Kata pendampingan lebih bermakna pada kebersamaan, kesejajaran, samping menyamping, dan karenanya kedudukan antara keduanya (pendamping dan yang didampingi) sederajat, sehingga tidak ada dikotomi antara atasan dan bawahan.  Hal ini membawa implikasi bahwa peran pendamping hanya sebatas pada memberikan alternatif, saran, dan bantuan konsultatif dan tidak pada pengambilan keputusan. (BPKB Jawa Timur, 2001:5).

Pendampingan dapat diartikan sebagai satu interaksi yang terus menerus antara pendamping dengan anggota kelompok atau masyarakat hingga terjadinya proses perubahan kreatif yang diprakarsai oleh anggota kelompok atau masyarakat yang sadar diri dan terdidik (tidak berarti punya pendidikan formal).

2.3. Pengertian Fasilitasi

·                Secara harfiah merujuk pada ‘upaya memberikan kemudahan’, kepada siapa saja agar mampu mengerahkan potensi dan sumber daya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. (Sumpeno W).
·                Secara umum pengertian "facilitation" (fasilitasi) dapat diartikan sebagai suatu proses "mempermudah" sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dapat pula diartikan sebagai "melayani dan memperlancar aktivitas belajar peserta pelatihan untuk mencapai tujuan berdasarkan pengalaman".
·                Fasilitasi adalah kegiatan memberikan bimbingan dengan cara memberdayakan pihak yang didampingi untuk bertumbuh & dan berkembang dalam pelaksanaan baik managerial maupun teknis.

Fasilitasi seringkali digunakan secara bersamaan dengan pendampingan yang merujuk pada bentuk dukungan baik tenaga, dana, peralatan, dan metodologi dalam berbagai program pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan. Fasilitasi menjadi inti dari kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh tenaga khusus untuk membantu masyarakat dalam berbagai sektor pembangunan. Kegiatan pendampingan dilakukan dalam upaya mendorong partisipasi dan kemandirian masyarakat. Kegiatan pendampingan menjadi salah satu bagian dalam proses pemberdayaan masyarakat. Dalam pendampingan dibutuhkan tenaga yang memiliki kemampuan untuk mentransfer pengetahuan, sikap dan perilaku tertentkepada masyarakat. Disamping itu, perlu dukungan dana dan sarana pengembangan diri dalam bentuk latihan bagi para pendamping.


BAB III
KONSEP DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

3.1 Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
                                                              
            Konsep pemberdayan masyarakat dan penanggulangan masyarakat nelayan secara umum akan dipengaruhi oleh lingkungan internal maupun eksternal, yang dapat menentukan tingkat keberhasilan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk lingkungan internal secara sinergis akan menentukan kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness), kemudian lingkungan eksternal secara sinergis akan menentukan peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang akan dihadapi masyarakat nelayan Halmahera Utara.
            Maksud utama dari penyusunan rencana strategis penanggulangan kemiskinan masyarakat nelayan di Kabupaten Halmahera Utara adalah untuk menggagas strategi utama dan program kerja yang perlu diambil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan Halmahera Utara. Hal ini juga dapat memberikan arahan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan guna peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat halmahera Utara.
Argumentasi utama dalam merumuskan rencana strategis ini, didasarkan pada kenyataan bahwa Kabupaten halmahera Utara memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang cukup besar. Salah satu kunci keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat nelayan Halmahera Utara adalah partisipatif dan dukungan penuh dari semua stakeholders yang sumber kehidupannya secara langsung bergantung pada hasil laut.





Tabel 1 Strategi pemberdayaan masyarakat nelayan Kabupaten Halmahera Utara
No.
Strategi pemberdayaan masyarakat nelayan
Program Pemberdayaan
1
Sosialisasi fasilitas kredit yang lebih intensif terhadap nelayan
Pengenalan teknolgi teknologi tepat guna kepada nelayan
2
Intervensi pasar (membuka peluang pasar) oleh pemerintah dan instansi terkait.
Pengembangan deservikasi usaha pengelolaan ikan
3
Mengintensifkan pengalaman laut oleh aparat keamanan
Subsidi harga BBM bagi nelayan
4
Deregulasi distribusi BBM khusus untuk nelayan
Regulasi untuk mencegah penangkapan ikan destruktif melalui aturan adat.

3.2 Kelembagaan Masyarakat Pesisir Halmahera Utara
Kondisi umum sosial budaya masyarakat pesisir dijelaskan melalui pendekatan karakteristik responden, yaitu meliputi kondisi sosial-budaya, umur, pendidikan, pengalaman kerja,  jumlah tanggungan keluarga dan waktu kerja dalam satu tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa Program PEMP telah memicu perubahan sosial budaya, teknologi, ekonomi dan kelembagaan di masyarakat pesisir kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. Perubahan penting aspek sosial budaya masyarakat pesisir di Halmahera Utara adalah menghidupkan kembali nilai-nilai lokal, yaitu: nilai kejujuran, keterbukaan, dan gotong royong. Nilai-nilai lokal masyarakat pesisir tersebut diwujudkan dalam bentuk kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), kelompok usaha bersama (KUB) dan koperasi  LEPP-M3. Pembentukan kelembagaan masyarakat tersebut di arahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berorganisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian terhadap pengembangan usaha mereka dan pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Program PEMP telah mendorong aksi solidaritas dan kolektifitas masyarakat pesisir dengan dengan terbentuknya Koperasi LEPP-M3 di kawasan pesisir Kabupaten Halmahera Utara. Lembaga koperasi ini mulai tumbuh dan berkembang, serta telah mampu menghidupi operasionalnya secara mandiri. Sasaran pemberdayaan koperasi LEPP-M3 adalah nelayan, pedagang ikan, pembudidaya ikan dan usaha mikro masyarakat pesisir lainnya. Sampai akhir tahun 2009, keanggotaan LEPP-M3 mencapai 553 orang yang tersebar di desa-desa pesisir yang tercakup dalam 15 kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara.
3.2.1 Peningktan produkvitas masyarakat
Sumberdaya  perikanan yang ada di Perairan Halmahera Utara seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan disekitarnya termasuk nelayan disekitarnya. Faktor-faktor penyebab rendahnya tingkat pendapatan nelayan antara lain, karena nelayan di Kabupaten Halmahera Utara dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang masih tradisional dan skala kecil, selain itu pengetahuan keterampilan juga masih terbatas.
Program-program prioritas dalam upaya peningkatan produktivitas nelayan antara lain: kredit kepemilikan kapal bagi buruh nelayan, membuka tabungan khusus untuk buruh nelayan, dan oprimalisasi fungsi dan peran lembaga keungan mikro dan koperasi nelayan.
3.3 Konservasi sumberdaya ikan
            Dalam upaya konservasi sumberdaya ikan, terdapat empat alternatif strategi pemberdayaan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara, komponen-komponen tersebut antara lain: 1) pembangunan pos jaga; 2) melakukan patroli rutin; 3) menambah armada patroli pengamanan laut, dan 4) Melarang penangkapan ikan dengan bahan peledak.