Sabtu, 03 Mei 2014

Penyuluhan Pertanian

PENYULUHAN PEMBANGUNAN
SEBAGAI SEBUAH ILMU
(Kajian Filsafat Ilmu)
Oleh:
Prof.Dr.Ir.Sugiyanto, MS

Pendahuluan
Pembangunan, apapun kegiatan yang dilaksanakan, pada hakekatnya bertujuan untuk selalu  terus menerus memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan manusia, orang per orang maupun bagi seluruh warga masyarakatnya. Menurut Slamet (1994), tercapainya tujuan pembangunan nasional harus didukung oleh kesiapan mental dan intelektual serta kiprah seluruh anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif secara berkualitas dalam berbagai bidang pembangunan nasional. Kualitas partisipasi masyarakat, diantaranya diwujudkan melalui kegiatan penyuluhan pembangunan. 
Penyuluhan pembangunan merupakan pengetahuan tentang bagaimana pola perilaku manusia terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan yang lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat pada kualitas kehidupan yang lebih baik.  Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penyuluhan pembangunan merupakan suatu bentuk pengetahuan tentang perilaku manusia.  Bila ditinjau dari segi filsafat ilmu, apakah penyuluhan pembangunan dapat disebut sebagai suatu ilmu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,  tentunya perlu diperhatikan ciri-ciri keilmuan dari penyuluhan pembangunan itu sendiri.
Pada hakekatnya, upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok yang merupakan ciri-ciri keilmuan yaitu : apa  yang ingin diketahui ? bagaimana cara memperoleh pengetahuan ? apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita ?.  Pertanyaan-pertanyaan tersebut kelihatannya sederhana namun mencakup permasalahan yang sangat mendasar.  Berbagai buah pemikiran yang besar sebenarnya merupakan serangkaian jawaban yang diberikan atas ketiga pertanyaan tersebut.
Dalam konteks penyuluhan, keberadaannya sebagai sebuah ilmu juga ditentukan oleh ketiga macam pertanyaan tentang hakekat ilmu tersebut yaitu : apa yang dikaji oleh penyuluhan pembangunan ? bagaimana cara atau metode ilmiah dalam pelaksanaan penyuluhan pembangunan ? apa manfaat atau nilai dari penyuluhan pembangunan ?. 
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji apakah penyuluhan pembangunan merupakan suatu bentuk ilmu pengetahuan ditinjau dari ciri-ciri keilmuan tersebut sesuai dengan  sudut pandang filsafat ilmu. 
Hakikat Ilmu
Istilah falsafah mengandung banyak pengertian, namun dalam tulisan ini, falsafah diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, serta suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Lalu apakah hubungan falsafah dengan ilmu ?.  Seperti diketahui, ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan yaitu gabungan antara berpikir secara rasional dan empiris (Suriasumantri, 1984b).
Hal senada diungkapkan oleh Adisusilo (1983) yang menyatakan bahwa Ilmu pengetahuan atau science adalah suatu proses untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Karena itu, ilmu pengetahuan harus mempunyai sifat ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara metodis, sistematis, dan logis. Metodis maksudnya adalah bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan cara kerja yang terperinci, baik yang bersifat induktif maupun deduktif, sesuai dengan tahapan-tahapan metode ilmu, misalnya dimulai dengan observasi, perumusan masalah, mengumpulkan dan mengklasifikasi fakta, membuat generalisasi, merumuskan hipotesis, dan membuat verifikasi.
Sementara itu, Gie (1984) menyatakan bahwa pemahaman terhadap konsepsi ilmu yang sistematik dan lengkap hendaknya mencakup segi-segi denotasi (cakupan), konotasi (ciri penentu), dan dimensi (keluasan).  Ketiga segi tersebut perlu dibedakan secara tegas dan tidak dicampuradukkan dalam pembahasan tentang ilmu. 
Menurut Suriasumantri (1984a) ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang mencakup apa yang ingin kita ke-tahui (ontologis), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemo-logi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (axiologi). Dalam hal ini, falsafah mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar dari eksistensi atau keberadaan ilmu.
Ontologi membahas tentang apa yang kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu.  Kemudian, bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai obyek tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita berpaling kepada epistemologi, yakni teori pengetahuan (Suriasumantri,1984a). Menurut Pranarka (1987), orang perlu mencari dan mempertanyakan dasar-dasar dari ilmu itu, terutama menunjukkan legitimasi epistemologinya. Selanjutnya, jawaban untuk pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan pengetahuan,  berkaitan dengan axiologi  yakni teori tentang nilai.  Setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan axiologi  dari pemikiran yang bersangkutan. 
Secara lebih rinci, Suriasumantri (1984b dan 1984c) menyatakan  bahwa tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya.  Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi, dan axiologi.  Ontologi  merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan (objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) dari objek formal tersebut.  Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan.  Sedangkan aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Hakikat Penyuluhan
Istilah penyuluhan digunakan dalam bahasa yang berbeda di beberapa negara.  Menurut Van den Ban (1999), dalam bahasa Belanda digunakan istilah Voorlichting yang berarti penerangan.  Malaysia yang dipengaruhi oleh bahasa Inggris menggunakan kata Perkembangan. Bahasa Inggris dan Jerman masing-masing menggunakan istilah pemberian saran atau Baratung yang berarti memberikan petunjuk tetapi pilihan tetap ditentukan oleh yang bersangkutan. Jerman menggunakan istilah Aufklarung yang berarti pencerahan. Dalam bahasa Austria digunakan istilah Forderung yang berarti menggiring seseorang kearah yang diinginkan sedangkan bahasa Perancis menggunakan istilah Vulgarization yang menekankan pentingnya penyederhanaan pesan bagi orang awam.  Spanyol menggunakan istilah Capacitacion yang dapat diartikan sebagai pelatihan.
Dilain pihak, menurut Slamet (1994), istilah penyuluhan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Agricultural Extension.  Dengan pengembangan penggunaannya di bidang-bidang lain, maka sebutannya berubah menjadi Extension Education dan Develoment Communication.  Meskipun antara ketiga istilah tersebut terdapat perbedaan, namun pada dasarnya mengacu pada disiplin ilmu yang sama.
Dalam bahasa Indonesia, istilah penyuluhan berasal dari kata dasar "suluh" yang berarti pemberi terang di tengah kegelapan.  Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang "belum diketahui (dengan jelas)". Namun, penerangan yang dilakukan tidaklah sekedar "memberi penerangan", tetapi penerangan yang dilakukan harus terus menerus dilakukan sampai segala sesuatu yang diterangkan benar-benar dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh masyarakat (Mardikanto, 1993).
Sebagai suatu kegiatan, penyuluhan pembangunan sudah lama dilaksanakan dan dirasakan kebutuhannya untuk menunjang pembangunan di banyak negara.
Menurut Mardikanto (1992), kehadiran penyuluhan pertanian di Indonesia sebagai bidang kegiatan, sebenarnya sudah berlangsung hampir dua abad yang lalu, yakni sejak didirikannya Kebun Raya Bogor oleh Reinwardt pada tahun 1817. Menurut catatan sejarah, di Scotlandia, pengembangan ilmu penyuluhan pertanian sudah dirintis sejak tahun 1723. Akan tetapi kehadirannya sebagai cabang keilmuan sebenarnya belum lama. Sejak saat itu, konsep tentang penyuluhan dan penyuluhan pertanian terus mengalami perkembangan.
Sejak pemerintahan orde baru, kegiatan penyuluhan yang semula hanya dikenal di kalangan orang-orang pertanian, semakin dikembangkan untuk beragam sektor kegiatan, sehingga kemudian muncullah penyuluhan agama, penyuluhan koperasi, penyuluhan transmigrasi, penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan industri kecil, penyuluhan hukum, penyuluhan perpajakan, dll. Menurut Slamet (1994), keragaman sektor penyuluhan tersebut mendasari munculnya penyuluhan pembangunan yang merupakan pengembangan dari penyuluhan pertanian.
Menurut Sapoetro (Mardikanto, 1992) kunci pentingnya penyuluhan di dalam proses pembangunan didasari oleh kenyataan bahwa pelaksana utama pembangunan adalah masyarakat kecil yang umumnya termasuk golongan ekonomi lemah, baik lemah dalam permodalan, pengetahuan, dan keterampilannya, maupun lemah dalam hal peralatan dan teknologi yang diterapkan.  Disamping itu, mereka juga seringkali lemah dalam hal semangatnya untuk maju dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. 
Kenyataan juga menunjukkan bahwa praktek penyuluhan yang bertujuan untuk menawarkan atau "memasarkan" inovasi sampai dengan inovasi tersebut diadopsi oleh masyarakat, bukanlah pekerjaan yang gampang.  Di dalam praktek, kegiatan penyuluhan selalu menuntut kerja keras, kesabaran, memakan banyak waktu, dan sangat melelahkan.  Sehingga pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan kian menjadi kebutuhan banyak pihak.
Pentingnya penyuluhan pembangunan juga diawali oleh kesadaran akan adanya kebutuhan manusia untuk mengembangkan dirinya agar lebih mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya.  Karena itu, menurut Mardikanto (1992) kegiatan penyuluhan pembangunan terus menerus dikembangkan dalam rangka menggerakkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan agar mereka memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai tujuan perbaikan mutu hidup dan kesejahteraan yang dicita-citakan.
Pada masa lalu, penyuluhan dipandang sebagai alih teknologi dari peneliti ke petani. Kini peranan penyuluhan lebih dipandang sebagai proses menbantu petani untuk mengambil keputusan sendiri dengan cara menambah pilihan bagi mereka dan menolong mereka mengembangkan wawasan mengenai konsekuensi masing-masing pilihan itu. Dengan demikian, tujuan terpenting program penyuluhan adalah untuk mengubah perilaku petani (Van den Ban, 1999).
Menurut Slamet dalam Mardikanto (1993), tujuan yang sebenarnya dari penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku sasaran nya.  Hal ini merupakan perwujudan dari : pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan indera manusia. Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) di kalangan masyarakat agar mereka tahu, mau, mampu melaksanakan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Dengan kata lain, Slamet (1994) mendefinisikan penyuluhan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan yang lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat pada kualitas kehidupan yang lebih baik. 
Hal yang sama juga didefinisikan oleh Wiriaatmadja (1973) yang menyatakan bahwa penyuluhan merupakan sistim pendidikan di luar sekolah, dimana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi tahu, mau, dan mampu/bisa menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Jadi penyuluhan adalah suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan sararan.  Karena sifatnya yang demikian maka penyuluhan biasa juga disebut pendidikan non formal. 
Melalui penyuluhan juga harus diupayakan tidak terciptanya "ketergantungan" masyarakat kepada penyuluhnya. Penyuluh hanya sekadar sebagai fasilitator dan dinamisator untuk memperlancar proses pembangunan yang direncanakan.  Dengan kata lain, melalui penyuluhan, ingin dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai ilmu dan teknologi, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu (informasi) yang baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan-harapannya demi tercapainya perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakatnya.
Pernyataan tentang tujuan penyuluhan tersebut  sesuai dengan falsafah penyuluhan yang dianut yaitu harus berpijak pada pentingnya pengembangan individu (Kelsey dan Herane dalam Mardikanto, 1993). Masyarakat harus dilihat sebagai manusia biasa yang memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuannya dan memiliki keinginan dan harapan untuk terlepas dari keadaan yang tidak mereka kehendaki.  Karena itu, pelaksanaan penyuluhan harus mampu tidak saja mengembangkan potensi masyarakat tetapi juga harus mau memberikan peluang kepada kekuatannya sendiri untuk mengembangkan potensinya supaya terlepas dari kemiskinan dan kebodohan.
Karena itu, Kelsey dan Herane  (Mardikanto, 1993) mengemukakan bahwa falsafah penyuluhan adalah bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia. Dari pendapat tersebut, terkandung pengertian bahwa :
(1)     Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya berkerja untuk masyarakat.  Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan amsyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat.
(2)     Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.
(3)     Penyuluhan yang dilaksanakan harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.
 
Dari paparan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah kesadaran dan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) manusia ke arah yang lebih baik sehingga mereka menjadi berdaya dan dapat mencapai kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Jadi, disinilah nilai penting penyuluhan sebagai suatu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kehidupan yang lebih sejahtera. Hal ini sesuai dengan hakekat ilmu yang berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Menurut Wiriaatmaja (1973) dalam melaksanakan kegiatannya, penyuluhan menerapkan suatu  cara atau metode tertentu yang harus dilakukan, yaitu :
(1)     Pengenalan keadaan, gambaran atau situasi
Sebelum melaksanakan kegiatan penyuluhan, penyuluh harus terlebih dahulu melakukan hal-hal sebagai berikut :
§         Mempersiapkan dirinya sendiri untuk jadi penghubung/komunikator atau penyuluh yang baik
§         Mengenal daerah kerjanya termasuk perihal masyarakat (sasaran), kebudayaan, kekayaan alam, dan masalah-masalahnya dalam lingkup pertanian/pembangunan. 
(2)     Perencanaan (Planning)
Supaya tujuan  penyuluhan dapat tercapai dengan baik, perlu disusun suatu rencana tentang jalannya kegiatan-kegiatan. Yang termasuk dalam rencana tersebut adalah yang dikenal dengan istilah  4 W dan 1 H, yaitu :
§         Apa yang harus dilakukan (What)
§         Di mana dilakukannya (Where)
§         Kapan melakukannya (When)
§         Siapa yang melakukan (Who)
§         Bagaimana melakukannya (How)
Untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, maka di dalam perencanaan tersebut, perlu disusun hal-hal sebagai berikut :
§         Program, yaitu suatu pernyataan yang dikeluarkan untuk menimbulkan pengertian dan perhatian mengenai suatu kegiatan. Lebih jelasnya program berisi tentang apa yang harus dilakukan dan mengapa perlu dilakukan.
§         Rencana Kerja, yaitu  suatu acara kegiatan-kegiatan yang disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan pelaksanaan program secara efisien yang menyangkut tentang bagaimana, kapan, di mana, dan siapa.
§         Kalender kerja, yaitu suatu rencana kerja yang disusun menurut urutan waktu kegiatan.
(3)     Pelaksanaan
Yang dimaksud dengan pelaksanaan di sini adalah tindakan-tindakan nyata untuk melakukan apa-apa yang telah dicantumkan dalam rencana tadi, yaitu yang berkaitan dengan 4 W dan 1 H tersebut. Dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan tersebut, dapat dipilih cara atau metode komunikasi dan alat bantu yang digunakan dengan ketentuan:
§         Sesuai dengan keadaan sasaran
§         Cukup dalam kuantitas dan kualitas
§         Tepat mengenai sasaran dan tepat pada waktunya
§         Amanat harus mudah diterima dan dimengerti
§         Murah biayanya.
Sedangkan metode komunikasi penyuluhan dapat dilakukan secara personal, kelompok, ataupun massa.
(4)     Penilaian (evaluasi).
Penilaian adalah suatu proses feedback, dimana hasil yang telah diperoleh selama pelaksanaan diperbandingkan dengan rencana dan keadaan semula. Selanjutnya mulai lagi dengan pengenalan keadaan yang baru (hasil akhir dari kegiatan-kegiatan tadi). Hal-hal yang dinilai adalah :
§         Apa yang terjadi pada pihak sasaran, yaitu apa ada perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya ?apakah mereka sudah menerapkan teknologi baru yang dianjurkan ? apakah ada perubahan dalam kedudukan sosial dan ekonomi mereka ?. Semuanya ini dibandingkan denga keadaan semula sebelum ada kegiatan penyuluhan.
§         Bagaimana efektivitas metode dan alat bantu penyuluhan yang digunakan ?
Untuk lebih  jelasnya urutan dari kegiatan-kegiatan penyuluhan tersebut adalah seperti gambar berikut :

Keadaan semula
Perencanaan
Pelaksanaan
Penilaian
Keadaan baru




 Dari paparan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa penyuluhan sebagai suatu pengetahuan mempunyai serangkaian metode ilmiah yang berisi langkah-langkah  sistematis  dan logis yang harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.  Dengan demikian, secara epistemologis hakekat penyuluhan sebagai suatu ilmu telah terpenuhi.  Sesuai dengan pendapat Suriasumantri (1984c), metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
    
Kesimpulan
Ilmu pada hakekatnya merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu  yang membedakan ilmu dengan pengetahuan umum lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang berkaitan dengan hakekat ilmu yaitu ontologi, epistemologi, dan axiologi.
Dalam konteks penyuluhan pembangunan, keberadaannya sebagai suatu ilmu didasari kenyataan bahwa pelaksana utama pembangunan adalah masyarakat kecil yang umumnya termasuk golongan lemah, baik secara ekonomi, pengetahuan, keterampilan, maupun semangatnya untuk maju dalam memperbaiki hidupnya.  Karena itu, ilmu penyuluhan pembangunan terus menerus dikembangkan dalam rangka menggerakkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan agar mereka berdaya dan memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan yang dicita-citakan.  Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam melaksanakan kegiatannya, penyuluhan menerapkan suatu  cara atau metode tertentu yang terdiri dari beberapa langkah sistematis yaitu  pengenalan keadaan atau situasi masyarakat setempat, perencanaan kegiatan, pelaksanaan, dan penilaian (evaluasi).  Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan tujuan penyuluhan  dapat tercapai dengan baik sesuai dengan yang diharapkan.
Dari paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa hakekat penyuluhan pembangunan sebagai suatu ilmu telah terpenuhi sesuai dengan ciri-ciri keilmuan yaitu  melalui  suatu kajian atau peninjauan dari segi ontologi, epistemologi, dan axiologi.
Daftar Pustaka
Gie, T. Liang. 1984. Konsepsi tentang Ilmu. Yogyakarta. Penerbit Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi.
Mardikanto, T. 1992. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta. Sebelas Maret University Press.
Pranarka, AMW. 1987. Epistomologi Dasar : suatu Pengantar. Jakarta. Penerbit Yayasan Proklamasi.
Suriasumantri, Jujun S. 1984a. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu.  Jakarta.  Penerbit Yayasan obor Indonesia dan Leknas – LIPI.
Suriasumantri, Jujun S. 1984b.  Ilmu dalam Perspektif  Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta. Penerbit PT Gramedia.
Suriasumantri, Jujun S. 1984c. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Penerbit Sinar Harapan
Slamet, Margono. 2001. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas dalam. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia : Menyongsong Abad 21. Jakarta. Penerbit PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.
Van den Ban, AW dan H.S. Hawkins. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Wiriaatmadja, S. 1973. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta. Penerbit PT Yasaguna.




1. Pengertian Falsafah dalam Penyuluhan Pembangunan
Kata falsafah adalah bahasa Arab. Dalam bahasa Yunani adalah philosophia (philo = cinta ; Sophia = hikah). Falsafah dalam bahasa Greek berarti love of wisdom, cinta akan kebijaksanaan yakni menunjukkan harapan/kemajuan untuk mencari fakta dan nilai kehidupan yang luhur. Plato (filosof Yunani) mengartikan falsafah sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Walter Kaufmann, menyebutkan bahwa falsafah adalah pencarian kebenaran dengan pertolongan fakta-fakta dan argumentasi.

Kegiatan penelitian dan penyuluhan sangat berkaitan dan saling memerlukan, karena itu kebersamaan antara peneliti/lembaga penelitian dan penyuluh/lembaga penyuluh perlu terbina dengan baik dan intim. Falsafah keduanya (penelitian dan penyuluhan) antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Selalu mengusahakan pembaruan dan modernisasi IPTEKS.
  2. Kebutuhan/keinginan/masalah masyarakat klien merupakan kegiatan primadona peneliti dan penyuluh.
  3. Selalu mengikuti/sejalan dengan perkembangan dan kemajuan.
  4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha.
  5. Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran klien dan masyarakat pada umumnya.
  6. Meningkatkan kebersamaan/kerjasama (antara penyuluh dan peneliti dan antara peneliti/penyuluh dengan pengguna IPTEKS/masyarakat klien).
Penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan)dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni orang makin modern. Ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri.


Ciri-ciri orang Modern menurut Inkeles (Inkeles, 1966 : 138 - 150 dan Inkeles dan Smith, 1974 : 15 - 25 dalam Asngari, 2001) antara lain :
  1. Terbuka dan siap menerima perubahan (pembaruan) : pengalaman baru, inovasi baru, penemuan baru yang lebih baik, dll,
  2. Orientasinya realistik/demokratis : berkecenderungan membetuk/menerima pendapat lingkungan,
  3. Berorientasi masa depan dan masa kini, bukannya masa silam,
  4. Hidup perlu direncanakan dan diorganisasikan,
  5. Dia belajar menguasai lingkungan (tidak pasrah),
  6. Rasa percaya diri tinggi (dunia di bawah kontrolnya),
  7. Penghargaan pada pendapat orang lain (tiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan),
  8. Dia optimis,
  9. Memberi nilai tinggi pada pendidikan formal,
  10. Percata pada IPTEK (dan perkembangannya), serta
  11. Percaya bahwa imbalan harus seimbang dengan kontribusinya (prestasinya).
2. Beberapa falsafah penyuluhan antara lain :
1. Falsafah mendidik/pendidikan (bukannya klien “dipaksa-terpaksa terbiasa”) Ki Hajar Dewantoro (Syarif Tayeb, 1977) menyebutkan bahwa dalam proses pendidikan digunakan falsafah : “hing ngarsa sung tulada, hing madya mangan karsa, tut wuri handayani.
  • - hing ngarsa sung talada = memberi/menunjukkan arah akan perubahan
    - hing madya mangun karsa = merangsang terjadinya perubahan
    - tut wuri handayani = mengembangkan dan mewujudkan potensi klien.
2. Falsafah pentingnya individu : Pentingnya individu ditonjolkan dalam pendidikan/penyuluhan pada umumnya, sebab potensi diri pribadi seseorang individu merupakan hal yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan.
3. Falsafah Demokrasi : Klien diberi kebebasan untuk berkembang agar mereka dapat mandiri sekaligus dapat bertanggungjawab sesuai dengan perkembangan intelektualnya.

4. Falsafah Bekerjasama : Falsafah Ki Hadjar Dewantoro “hing madya mangun karsa” mengandung makna adanya kerjasama antara penyuluh/agen pembaruan dengan klien. Penyuluh bekerjasama dengan klien agar klien aktif berprakarsa (dalam proses belajar) mengembangkan usaha bagi dirinya.
5. Falsafah “Membantu Klien Membantu Diri Sendiri.” Thompson Repley Bryant (Vines dan Anderson, 1976 :81 dalam Asngari, 2001), seorang penyuluh kawakan Amerika Serikat, menggaris bawahi falsafah ini dengan mengatakan : Makna falsafah ini menunjukkan landasan orientasi pentingnya individu membantu diri sendiri. Dari falsafah ini pula dikembangkan landasan kegiatan "dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka."
6. Falsafah Kontinyu/berkelanjutan : Dunia berkembang, manusia berkembang, ilmu berkembang, teknologi berkembang, sarana berkembang, usaha berkembang, jadi harus sesuai dengan perkembangan : 1) materi yang disajikan, 2) cara penyajian, dan 3) alat bantu penyajian.
7. Falsafah Membakar Sampah (secara tradisional, baik individual, maupun berkelompok).
  1. Ini analogi ; kemungkinan sampahnya “basah semua” siram dengan minyak tanah (jangan sekali-kali dengan bensin) lalu dibakar (kadang-kadang perlu beberapa kali disiram minyak tanah dan dibakar sampai ada yang kering dan merambat mempengaruhi kekeringan yang lain), ini pendekatan kelompok yang semuanya belum membangun.

  1. Bagi seorang individu, falsafah ini pun berlaku, dengan bertahap penuh kesabaran menunggu perkembangan. Falsafah ini memang harus dilandasi adanya kesabaran menunggu perkembangan individu klien. Inilah kunci proses mendidik/menyuluh untuk mengembangkan dan mewujudkan potensi individu lebih berdaya dan mandiri. Individu lebih berdaya sebagai hasil mendinamiskan diri, sehingga individu mampu berprestasi prima secara mandiri











Peta Topographi Kota Ternate




Minggu, 31 Maret 2013

Analisis Pemberdayaan Masyarakat Halmahera Barat


I.   PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
            Pembangunan Pertanian merupakan salah satu aspek yang paling berperan dalam pembangunan ekonomi di daerah. Sektor pertanian diharapkan dapat berkembang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut. Padi (Oryza sativa L) merupakan salah satu tanaman pangan di Indonesia dan memiliki peranan yang sangat penting karena merupakan bahan makanan pokok sebagian besar penduduk di Indonesia.
            Berdasarkan informasi yang diperoleh, bahwa ternyata pada masa lalu kualitas padi di daerah umumnya rendah. Hal ini disebabkan karena beberapa kendala yang antara lain pengetahuan tentang bercocok tanam yang masih kurang serta pemanfaatan lahan yang tidak tepat. Kurangnya pengetahuan bercocok tanam yang umumnya berlangsung secara turun-temurun membuat produksi padi tetap rendah. Petani tradisional umumnya menanam padi hanya berdasarkan pengalaman. Namun berkat usaha pemberdayaan masyarakat tani yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah terhadap para petani, masyarakat petani lambat laun dapat menerima kenyataan bahwa pengetahuan pertanian sangat penting dalam bercocok tanam. Hal ini membuktikan bahwa bangsa kita sangat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
          Faktor lain yang membuat produksi rendah seperti yang disebutkan diatas adalah pemanfaatan lahan yang kurang tepat. Pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam padi dapat dibagi dua yaitu lahan kering (padi ladang) dan lahan basah (padi sawah).
          Sebahagian kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Halmahera Barat terdapat pertanian lahan kering dan pertanian lahan basah. Berdasarkan data yang diperoleh luas lahan kering hingga tahun 2009 yaitu lahan kering sebesar 461 Ha dan luas lahan basah sebesar yaitu 148 Ha.
          Saat ini terjadi perubahan pola tanam dimana sebagian besar petani beralih dari lahan kering ke lahan basah, hal ini terutama disebabkan karena terjadi peningkatan pengetahuan tentang bercocok tanam padi serta perbedaan produksi yang dihasilkan dengan adanya pemberdayaan masyarakat tani.
1.2         Rumusan Masalah
          Berdasarkan uraian latar belakang dalam penelitian ini, maka penulis mengemukakan rumusan permasalahan adalah :
1.      Seberapa besar pengaruh pemberdayaan terhadap perubahan perilaku budidaya petani dari petani padi ladang ke petani padi sawah
2.      Berapa tingkat produksi setelah perubahan perilaku tersebut

1.3         Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui perubahan perilaku budidaya dari petani padi ladang ke petani padi sawah
2.      Mengetahui tingkat produksi setelah perubahan perilaku

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 
5.1        Identitas Responden
Identitas responden yang mencakup dalam penelitian ini adalah meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan dan jumlah produksi produksi, masing-masing untuk lahan basah (padi sawah) dan lahan kering (padi ladang).
5.1.1        Umur Responden
Kegiatan berusatani umur sangat menentukan apakah tergolong produktif ataukah tergolong kurang produktif dalam melakukan kegiatan usahanya tersebut. Petani yang mempunyai umur yang lebih mudah akan memiliki kemampuan fisik dan mental yang relatif lebih kuat tetapi petani yang mempunyai umur yang lebih tua cenderung memiliki pengalaman yang lebih banyak sehingga mereka akan berhati-hati dalam proses pengambilan keputusan.
Umur yang produktif akan lebih efektif dalam beraktivitas dibandingkan dengan umur yang tidak produktif. Untuk lebih jelasnya mengenai tingkat umur petani responden dapat disajikan pada Tabel 5

Tabel  5   : Tingkat Umur Petani yang Beralih dari Petani Padi  Ladang ke Petani Padi Sawah di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2009.
Umur
Jumlah Petani (Jiwa)
Persentase (%)
> 43,5
9
30
≤ 43,5
21
70
Jumlah
30
100,00
Sumber  :  Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Dari hasil penelitian petani responden bahwa umur tertinggi 67 tahun dan umur terendah 20 tahun, maka rata-rata umur di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat yaitu 43,5 tahun. Dapat dilihat pada Tabel 5 diatas bahwa petani responden yang melakukan kegiatan budidaya padi di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat berusia diatas rata-rata 43,5 tahun sebanyak 21 orang sedangkan petani responden yang berusia dibawah rata-rata 43,5 tahun hanya 9 orang, hal ini menunjukkan bahwa petani di Desa Sarau yang melakukan kegiatan budidaya padi adalah umur yang sudah kurang produktif. Hal ini disebabkan karena pengetahuan tentang budidaya padi masih sangat kurang.
5.1.2        Tingkat Pendidikan Responden
Pendidikan formal petani merupakan salah satu faktor penting, khususnya dalam mengadopsi teknologi dan keterampilan budidayanya, tingkat pendidikan juga mempengaruhi pola pikir petani dalam mengambil keputusan. Meskipun   sebenarnya   sulit   untuk mengukur  hubungan yang sesungguhnya antara tingkat pendidikan formal dengan cara berpikir petani. Petani yang mempunyai tingkat pendidakan yang relatife tinggi diharapkan pola pikir semakin rasional sehingga dapat bertindak lebih dinamis dalam mengelola budidayanya sehingga dapat meningkatkan produksi usahanya. Petani yang berpendidikan sangat rendah pada dasarnya memiliki keterbatasan dalam mengadopsi inovasi dan teknologi dan keterbatasan penguasaan dan penyerapan teknologi dalam penyerapannya pengelolaan budidayanya.
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir dan kemampuan menyerap informasi dan teknologi, hal ini dapat dilihat semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pertanian maka sangat dibutuhkan keterampilan dan penguasaan teknologi tersebut. Tingkat pendidikan petani disajikan pada       Tabel 6.
Tabel  6 :    Tingkat Pendidikan Petani  Responden di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2012.

No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
(Jiwa)
Persentase
(%)
1
SD
17
56,7
2
SLTP
7
23,3
3
SLTA
6
20,0
Jumlah
30
100,0
Sumber  :  Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa tingkat pendidikan petani responden di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat masih rendah yaitu dari 30 responden 17 orang atau 56,7% berpendidikan SD sedangkan SLTP 7 orang atau 23,3% dan SLTA 6 orang atau 20,0%.
5.1.1        Pengalaman Berusahatani
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha adalah waktu yang telah digunakan dalam melakukan usaha. Pengalaman berusaha oleh seorang petani akan berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dengan lama petani yang telah menekuni suatu usaha pengelolaan usahatani tentu akan banyak pula pengalaman yang diperolehnnya. Pengalaman dari apa yang dialami oleh seseorang akan menjadi suatu kebiasaan bila hal tersebut sering dilakukan. Lama berusaha dapat dianggap sebagai ukuran tingkat pengalaman dengan pengelolaan usahataninya tersebut.
 Untuk lebih jelasnya pengalaman petani di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat dalam mengelola usahataninya dapat disajikan pada Tabel 7.
Tabel  7   :    Identitas Responden Berdaraskan Pengalaman Berusahatani Padi Ladang di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2012.
No
Pengalaman Berusahatani (Tahun)
Jumlah
(Jiwa)
Persentase
(%)
1
1 – 3
12
40,00
2
4 – 6
10
33,33
3
7 – 9
8
26,67
Jumlah
30
100,00
Sumber  :  Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Berdasarkan Tabel 7 diatas menunjukkan bahwa jumlah petani responden yang mempunyai pengalaman 1-3 tahun berjumlah 12 orang atau 40,00% dan pengalaman 4-6 tahun 10 orang atau 33,33% serta pengalaman 7-9 tahun 8 orang atau 36,67%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani responden mempunyai pengalaman usahatani kurang memadai dalam bidang Pertanian.
Tabel  8     :    Identitas Responden Berdaraskan Pengalaman Berusahatani Padi Sawah di Desa Sarau Kecamatan Ibu Selatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2012.
No
Pengalaman Berusahatani (Tahun)
Jumlah
(Jiwa)
Persentase
(%)
1
2 – 10
6
20,00
2
11 – 19
19
63,33
3
20 – 28
5
16,67
Jumlah
30
100,00
Sumber  :  Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Berdasarkan Tabel 8 diatas menunjukkan bahwa jumlah petani responden yang mempunyai pengalaman 2-10 tahun berjumlah 6 orang atau 20,00% dan pengalaman 11-19 tahun 19 orang atau 63,33% serta pengalaman 20-28 tahun 5 orang atau 16,67%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani responden mempunyai pengalaman usahatani kurang cukup memadai dalam bidang pertanian.
5.1.2        Lahan Garapan Petani
Luas lahan merupakan sektor penentu lahan budidaya terutama produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut. Sedangkan sektor lain yang turut menentukan adalah produktivitas dan kesuburan tanah dan jenis komoditi yang diusahakan. Untuk lebih jelasnya luas lahan yang dimiliki petani responden disajikan pada tabel.
Berdasarkan Tabel 9, menunjukkan bahwa luas lahan 0,5-1 sebanyak 15 petani responden dan luas lahan 1,1-1,5 sebanyak 8 petani responden dan 1,6-2 sebanyak 7 petani responden.

Berdasarkan Tabel 10, menunjukkan bahwa luas lahan 0,3-0,8 sebanyak 20 petani responden dan luas lahan 0,9-1,3 sebanyak 6 petani responden, luas lahan 1,4-1,8 sebanyak 2 petani responden dan luas lahan 1,9-2,3 sebanyak 2 Petani    responden.

5.2              Analisis Perubahan Perilaku Budidaya
Perubahan perilaku budidaya dari petani lahan kering (padi ladang) ke lahan basah (padi sawah) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu antara lain umur, pendidikan, pengalaman berusaha tani serta luas lahan. 
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa :
1.      Umur
Umur sangat menentukan kemampuan seseorang dalam berusaha tani, baik Petani padi sawah maupun petani padi ladang.
-     Padi Ladang
Dari tabel diatas diperoleh korelasi antara umur dan produksi yaitu sebesar -0,237 (korelasi negatif). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh umur terhadap produksi tidak signifikan, atau dapat dikatakan semakin tinggi umur petani maka semakin rendah produksi yang diperoleh.
-     Padi Sawah
Dari tabel diatas diperoleh korelasi antara umur dan produksi yaitu sebesar 0,000 (tidak ada hubungan). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh umur terhadap produksi tidak bepengaruh.
2.      Pendidikan
Kemampuan petani dalam menyerap informasi dan teknologi pertanian akan sangat ditentukan oleh tingat pendidikan.
-        Padi Ladang
Korelasi antara Pendidikan dengan Produksi adalah -0,089 (korelasi negatif). Korelasi tersebut menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan terhadap produksi negatif, artinya semakin tinggi tingakat pendidikan petani maka produksi menurun sebesar 0,089, karena dengan pendidikan tinggi maka petani cenderung beralih ke petani padi sawah.
-        Padi Sawah
Korelasi antara Pendidikan dengan Produksi adalah 0,06. Terjadi korelasi positif artinya semakin tinggi pendidikan maka produksi semakin meningkat, walaupun demikian korelasi ini juga memberikan informasi bahwa pengaruh pendidikan terhadap produksi tidak terlalu berpengaruh yaitu hanya 0,06. Hal ini terjadi karena tidak adanya informasi yang memadai dari pihak-pihak terkait misalnya  penyuluh pertanian, atau media cetak pertanian belum masuk di daerah tersebut.
3.      Pengalaman Berusahatani
-        Padi Ladang
Korelasi antara Pengalaman Usahatani dengan Produksi adalah -0,150 (korelasi negatif). Korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun produksi yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan karena petani hanya melakukan budidaya secara tradisional tanpa ada informasi tentang cara budidaya yang baik dan benar.
-        Padi Sawah
Korelasi antara Pengalaman Usahatani dengan Produksi adalah -0,008 (korelasi negatif). Korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun produksi yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan karena petani belum mendapatkan penyuluhan tentang cara budidaya yang baik dan benar.
4.      Luas Lahan
-        Padi Ladang
Korelasi antara Luas Lahan dengan Produksi adalah 0,611. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa pengaruh luas lahan positif yaitu diatas 0,5, atau dengan kata lain semakin luas lahan yang digarap maka produksi yang dihasilkan meningkat.
-        Padi Sawah
Korelasi antara Luas Lahan dengan Produksi adalah 0,943. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa pengaruh luas lahan sangat kuat yaitu hampir mendekati 1, atau dengan kata lain semakin luas lahan yang digarap maka produksi yang dihasilkan meningkat.
Tabel  12 : Perbandingan Rata-Rata Produksi Padi Sawah dan Padi Ladang Per Tahun

No.
Komoditi
Luas Lahan (Ha)
Produksi (Kg)
1
Padi Ladang
1,342
         1.055
2
Padi Sawah
0,812
       10.574

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang melakukan usaha budidaya padi ladang hanya mampu menghasilkan 1.055 kg dengan luas lahan 1,342 ha setiap tahunnya (satu kali panen), sedangkan responden yang melakukan usaha budidaya padi sawah dengan luasan 0,812 ha dapat menghasilkan produksi 5.287 kg per panen atau dengan kata lain petani padi sawah dapat menghasilkan produksi 10.574 kg (dua kali panen) per tahun.



VI.   KESIMPULAN DAN SARAN
6.1     Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.      Korelasi positif perubahan perilaku budidaya petani padi ladang ke petani padi sawah dengan produksi yaitu sebesar 0,611 pada padi ladang dan 0,943 pada padi sawah. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin luas lahan garapan maka semakin meningkat produksi yang dihasilkan.
2.      Faktor umur berpengaruh terhadap perubahan perilaku budidaya, pekerjaan budidaya padi ladang memerlukan kemampuan cukup prima, sementara pekerjaan budidaya padi sawah sudah menggunakan teknologi pertanian sehingga dapat mempermudah pekerjaan.
3.      Produksi rata-rata padi ladang sebesar 1,055 Kg dengan rata-rata luas lahan sebesar 1,342 Ha, sedangkan untuk padi sawah,setelah perubahan perilaku produksi rata-rata 10.574 Kg dengan luas rata-rata sebesar 0,812 Ha.
6.2       Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1.         Perlu penyadaran kepada para petani bahwa peningkatan produksi tidak tergantung dari luasnya lahan yang digarap, tetapi bagaimana memanfaatkan lahan sehingga dapat memperoleh hasil yang maksimal.
2.         Perlu ditingkatkan penyuluhan pertanian sehingga diharapkan nanti petani dapat melakukan budidaya padi dengan cara yang benar sehingga pada akhirnya dapat memperoleh hasil yang memadai.
3.         Perlu adanya tenaga pendamping yang berpengalaman dalam melakukan budidaya padi sehingga dapat terjadi alih pengetahuan yang kemudian diharapkan terjadi peningkatan produksi.